Notification

×

Hari Kartini Eksistensi Kaum Perempuan Kedang di Era Digitalisasi

Jumat, 22 April 2022 | April 22, 2022 WIB

sudarjo_abd_hamid
Foto: Istimewah
LEMBATA - Raden Ajeng Kartini Lahir Jepara, 21-Apri 2022, hari ini menjadi momentum penting untuk diperingati sebagai bentuk kepedulian perempuan. Di mana fungsi penghormatan perjuangan dalam mewujudkan kesetaraan ( Emansipasi ) , dalam ranah pendidikan pada semua lini kehidupan. Perjuangan Kartini dimulai sejak menulis surat kepada sahabatnya. Mengenai kegelisahan dibidang pendidikan dan posisi perempuan. Salah satu surat diterjemahkan Armin P dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” Kami gadis-gadis terantai adat istiadat lama, hanya sedikit memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. ( Surat kepada Nona Zeehandelear,Jepara 25 Mei 1899). Terlahir dari keluarga bangsawan yang begitu berkiblat pada adat istiadat. Membaca mampu mengantarnya kritis dalam bertindak dan terbesit asa untuk berjuang meneguhkan wanita Indonesia, dimana wanita Indonesia tertindas  oleh kondisional. Wanita didiskriminasi sehingga ruang gerak terbatas, jangankan untuk berkarya, lari dari kebodohan dan terlepas dari diskriminasi yang telah membudaya sangat tidak mungkin.


Eksistensi Perempuan Kedang

 
Eksistensi dalam kamus bahasa Indonesia adalah hal, berada, keberadaan. Sedangkan makna dari perempuan adalah Orang ( Manusia ) yang dapat mensruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.

 

Eksistensi perempuan bisa diharfiahkan menjadi  keberadaan Orang ( Manusia )/ seorang wanita kiprah menjalankan kodrat Tuhan. Dalam bahasa sangsekerta perempuan diambil dari kata Per + Empu + An. Per  memiliki arti makhluk, Empu bererti Mulia, tuan,mahir. Dengan demikian perempuan bisa  di maknai sebagai makhluk yang memiliki  kemampuan dan kemuliaan. ( WikipediA ).

 

Perempuan Kedang secara eksistensi sosial dan ekonomi memiliki peran yang sangat strategis. Karena selain mengurus  anak ( Hamil, melahirkan, menyusui, mendidik dan mengajarkan. Perempuan Kedang juga mampu menghasilkan sesuatu. Banting tulang mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, apabila sang suami merantau atau ditinggal pergi ( Meninggal).

 

Keuletan serta kemampuan perempuan bisa terukur menjadi tulang punggung kehidupan keluarga, sandang, pangan serta papan terus menjadi tanggungjawab perempuan yang hanya hidup bersama buah hatinya. Sementara sang suami pergi merantau berpuluh-puluh tahun lamanya.

 

Kehidupan sosial masyarakat/orang Kedang sangat homogen, artinya bahwa komonitas tersebut rata-rata bertani dan masih memiliki keterikatan emosional serta garis keturunan yang sama. Sehingga orang Kedang Omesuri serta Buyasuri memiliki silsilah yang satu yakni Uyelewun. Orang Kedang dengan Kekuatan Gunung Uyelewun yang mana awal mula rintisan kehidupan di awali di tempat itu, namun dalam beberapa waktu nenek moyang melakukan ( Dorong Dopeq ) atau migrasi dari puncak menuju lembah. Sehingga orang kedang pasti tinggal seputaran kaki gunung tersebut, dan tentunya memilik ( Leu Tuan ) atau kampung lama.

 

Tuntutan kehidupan saat ini kadang depresi melanda,  karena selain berpikir akan kebutuhan rumah tangga, seorang perempuan/ibu harus memikirkan biaya sekolah putra-putrinya, hingga harus kerahkan sum-sum otaknya untuk berfikir porsi adat istiadat yang hanya absen di musim tanam, selain musim tersebut full roster telah terjadwal untuk urusan tersebut. Seandainya sang suami merantau/meninggal dunia, maka porsi tanggungan adat tetap dalam hitungan. Kenapa ? tanggungjawab sebagai ( Weqrian Suku Leu )  isteri Marga/suku tersebut untuk ( Dongoq Hekong Bare Kalung ) tanggungjawab sebagai isteri dari suami perantau/almarhum. Di sini porsi perempuan/isteri tersebut tetap diberi kesempatan untuk memenuhi apapun kemauan adat istiadat.

 

Pekerjaan laki-laki selama ini telah diambil alih perempuan/isteri apabila suami tidak  ada ditempat, kalupun warisan itu ada, maka yang mengelolah adalah perempuan/isteri. Syukur jikalau suaminya adalah anak semata wayang, maka otomoatis kebagian harta tidak terjadi diantara saudara lainnya. Apabila peninggalan orang tua beberapa pohon kelapa, maka pohon kelapa tersebut menjadi aset kebutuhan, segala hajatan keluarga, jika harga kopranya baik maka pembiayaan pasti sangat enteng. Apalagi kalau pohon kelapa  menggunakan jasa orang untuk memanjat, maka kalkulasi akan di bagi dua hasil dari timbangan. Namun ada perempuan yang rela sendiri mengelolahnya, dari memanjat hingga menjadi kopra dijalankan sendiri tanpa memikirkan  resiko sebagai kaum Hawa.

 

Tuntutan kehidupan inilah menjadi pemicu perempuan Kedang harus mengambil alih pekerjaan lelaki/suami walau terbilang ekstrim pekerjaan. Ada pula perempuan menjadi perantau baik TKI maupun TKW ke Negeri Jiran Brunai hingga Singapore mengumpulkan uang untuk membangun rumah, bak air minum, biaya kuliah hingga  urusan adat istiadat. Sementara sang suami hanya hidup dikampung bertahun-tahun tanpa memikirkan nasib sang istri di perantauan. Inilah hal ironis yang terjadi di komonitas Kedang saat ini. Padahal perempuan ketika telah berkeluarga tentunya pihak (Ine Ame) orangtua dari perempuan tersebut, mendapat belis dari orang tua/suku suami berupa (Kong Bala), Gong/Gading maupun syarat lainnya. Eksistensi perempuan Kedang cukup dihormati dari sisi pelunasan belis, namun kadang perempuan seperti pekerja dirumah sendiri. Dari hal warisan juga menjadi perhatian yang harus difikirkan, karena hingga hari ini walaupun emansipasi ataupun istilah lainnya di gelorakan, kehidupan wanita masih tetap seperti itu, bahkan porsi warisan kepada perempuan secara adat ditiadakan, kenapa ? bagi pemahahaman orang Kedang bahwa perempuan besok lusa Nikah di bawah keluar dari suku/marga oleh suaminya. Hak waris bagi perempuan Kedang dikesampingkan tanpa mendapat apa-apa. Padahal hasil belis saudara laki-laki kandung itu, berasal dari perputaran belis saudarinya tadi. Perempuan penghasil belis sekaligus keturunan dari kedua garis keturunan.


Titik Lemah Perempuan Kedang Dari Sisi ( Weq Rian Suku Leu )

 
Weq Rian Suku Leu  yang boleh diIndonesiakan menjadi Istri milik marga/suku setempat. Di Kedang, seorang perempuan yang telah menikah, otomatis secara jiwa raga maupun fikiran adalah milik total suku/marga tersebut. Sehingga sangat dilematis dan memiliki titik lemah perempuan Kedang.
Dalam sebuah perkawinan, orang kedang tidak mengenal cerai/pisah bahkan istilah moderen apapun.komonitas tersebut berkeyakinan bahwa perempuan yang telah menikah dengan satu lelaki, sangat kecil peluang menikah lagi. Karena menjadi isteri suku leu itu tanpa batas waktu hingga kiamat.


Ada sebuah kebiasaan yang hingga kini masih melekat pada klien ini adalah persoalan suami nikah lagi/meninggal dunia. Sejatinya weq rian suku leu adalah mereka yang bertahan hidup tidak menikah lagi, walaupun suami telah menikah/telah meninggal dunia. Hidup walaupun tanpa suami sebatang karang hanya bersama putra putrinya namun dimata sosial dialah paling kompeten dalam menjaga marwah weqrian suku leu. Ini hanya sebagaian kecil yang bertahan dalam keadaan seperti ini, namun ada juga secara psikolgi dan tawaran animo seksologi masih tinggi, maka jalan pintas pula dilakukan tanpa peduli oleh kebiasaan yang telah mendarah daging tersebut.

 

Apabila hal itu terjadi, kemudian dilakukan legalitas Negara dan Agama menjadi pasangan suami istri sah dari luar marga, hidup bersama hingga mendapatkan putra putri dari suami baru, maka secara adat dan kesepakatan tradisi putra putri yang lahir tersebut menjadi anak atau memiliki marga dari bapak tirinya terdahulu yang mana adalah suami pertama dari ibu mereka. Begitu pula saat ibu dari anak-anak/istri dari suami tersebut meninggal, otomastis pihak keluarga dari suami pertama ramai-ramai menggotong mayat tersebut dan menyimpan di rumah suami pertama/rumah kelauraga semarga suami pertama untuk dilakukan prosesi pemakaman.

 

Begitupun anak-anak, apabila telah tiba saatnya menikah bagi anak laki-laki, yang mengurus hingga belis dan lain-lain tentunya berasal dari bapak tiri atau  suami pertama ibunya. Begitupun anak perempuan, apabila saatnya jodoh sampai maka calon suami dari anak perempuan tersebut harus mencari tau asal usul marga/suku calon istrinya tersebut untuk menyampaikan niatan menikah kepada kepala suku dari bapak tiri/suami pertama dari ibunya.
Kehidupan sosial seperti ini sangat langkah, namun memang terjadi saat ini. Sehingga butuh pencerahan secara agama dan undang-undang, agar pemahaman kehidupan rumah tangga dapat diminimalisir dengan keadaan yang sangat kaku tersebut.

 

Dalam perjalanan waktu dan pergantian masa, kondisi-kondisi seperti ini sedikit bergeser, karena kesempatan untuk sekolah semakin lebar dan pemahan orang terhadap pengetahuan agama semakin melebar. Namun juga apabila seorang anak perempuan telah menamatkan kuliah kemudian telah lulus menjadi seorang ASN, maka patokan belisnya melambung tinggi bahkan kita tidak sanggup membayarnya. Karena patokan gading harus disiapkan 2- 3  buah dengan masin-masing ukuran, tergantung kesepakatan ( Toyeq Mate Nute Nueng ) antara kedua belah pihak.

 

Saat ini orang Kedang mulai merubah pola pikir terutama keberadaan perempuan untuk sekolah. Banyak perempuan Kedang saat ini, mengenyam pendidikan hingga S3 bahkan banyak telah merintis hidupnya menjadi ASN daerah maupun Satker fertikal.ada yang menjadi aparat Desa, guru bahkan Dosen. Ini adalah hal yang cukup dibanggakan agar stigma orang Kedang tentang “ Arian Apu Wela, Huneng Hoaq  Lei Pela, Uru lamang Utun Lamen,Seloq Patang Wile Ameq, Galeka Suku Leu More Bia More Beuq” ( Perempuan Pemakai sarung, Junjung Sokal Tanpa Sendal, Urus anak dan keluarga urus dapur dan urus suku, dari malam hingga kembali bertemu malam.


Suasana dan kondisi kekinian saat ini, adalah peran tekhnologi dan dunia digitalisasi yang sangat berpengarus psikis dan otak manusia. Karena kemelekan teknolgi tersebut, arah pandang perempuan kedang juga mulai berubah, terkait dengan prinsip hidup. Di era digital ini banyak perubahan-perubahan yang dirasakan. Ada perempuan mulai lakukan ekspansi jodoh, lantas melek terhadap tekhnologi kadang mereka lupa akan kodrat kewanitaanya. Sekarang banyak perempuan yang tidak tau cara serta proses jagung titi, kain sarung adat tidak mampu dililit pada pinggang mereka, sehingga banyak yang memilih jasa jahit untuk memodif sesuai tuntutan mode saat ini,menjadi rok maupun celana. Begitu pula upacara-upacara adat seperti ( Soka Hedung) tarian jemput tamu, hingga aktifitas  tata cara kelola jamuan tamu ( Hiduq Hoir ), ataupun etika  antar orang tua dan anak-anak ataupun sebaliknya sudah mulai bergeser.  Semoga perempuan Kedang tetap eksis dan berkibar kedepan, namun secara eksistensi perlu juga menjadi dasar pijak dimasa digitalisasi ini.

Penulis: Sudarjo Abd Hamid