Notification

×

Kompleksitas Tantangan SDM Pengawasan Pemilu Serentak 2024

Senin, 30 Agustus 2021 | Agustus 30, 2021 WIB
opini_baharudin_hamzah
Oleh. Baharudin Hamzah. M,Si

MATALINENEWS-com Sejak Pemerintah dan DPR, serta KPU, Bawaslu serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menyepakati pemilihan umum serentak akan dilaksanakan tahun 2024, diskursus mengenai peluang, tantangan, harapan agar pemilu dan pemilihan serentak berjalan sukses dan berintegritas dalam berbagai perspektif terus menggelinding di ruang-ruang public. Diskusi baik terbatas maupun terbuka, di ruangruang formal sampai warung kopi mulai menghangat, Terutama penyelenggara pemilu termasuk bawaslu sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu yang dimandatkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 untuk mengawasi pemilu terus melakukan berbagai persiapan, mulai dari regulasi teknis. dukungan sumberdaya termasuk alokasi pembiayaan pengawasan tahapan dua rezim pemilu yang Panjang itu.

Berbicara mengenai pengawasan pemilu, tak bisa lepas dari peran sentral pengawas pemilu itu sendiri. Pertanyaan menggelitik yang sering dilontarkan adalah mengapa pengawas pemilu diperlukan atau mengapa pemilu harus diawasi?. Sebagai sebuah negara demokrasi terbesar di dunia, para pendiri bangsa (founding father ) telah berkonsensus bahwa pemilu menjadi satu-satunya instrumen demokrasi yang dipilihkan hingga kini, untuk peralihan kekuasaan secara konstitusional dengan siklus lima tahunan.

Dalam konteks pemilu yang demokratis, jujur dan berintegritas bagi pembentuk undang-undang, apabila dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang berintegritas, profesional dan akuntabilitas seturut asas penyelenggara pemilu. Kehadiran pengawas pemilu diperlukan agar setiap pelanggaran pemilu atau pemilihan dapat dicegah seiring dengan kehadiran lembaga pengawas pemilu yang diberi wewenang khusus untuk mengawasi sekaligus menegakan hukum pemilu. Menurut Nurhidayat Sardini dalam bukunya Kepemimpinan Pengawasan Pemilu mengatakan, pemilu memerlukan pengawasan pemilu. Dalam rangka menjamin kualitas proses dan hasil-hasil pemilu. Tak lain semata-mata agar kompleksitas penyelenggaraan pemilu tidak bergeser dari tujuan-tujuan demokrasi. Dengan pengawasan pemilu, hasil pemilu yang diharapkan akan menjangkau kerangka perolehan dukungan sebesar-besarnya (legitimate) dari rakyat pemilih.

Secara konstitusi, untuk menyelenggarakan pemilu dan pemilihan, ada tiga institusi penyelenggara yang telah dibentuk berdasarkan mandat terakhir Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 yaitu Komisi Pemilihan Umum dengan tugas dan wewenangnya sebagai penyelenggara teknis, Bawaslu dengan tugas dan wewenangnya untuk mengawasi, serta Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai lembaga pengawal etik dan moral penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) bersama jajarannya sampai pada level penyelenggara adhock di tingkat tempat pemungutan Suara.

 Ketika kita berbicara tentang pemilu dan pemilihan serentak tahun 2024, maka pikiran kita kemudian membayangkan berbagai kerumitan teknis tata kelola pemilu. Ini pemilu serentak nasional pertama dan mungkin terbesar di dunia. Karena selain puncak hari pungut hitung di tahun yang sama, juga seluruh tahapan baik pemilu dan pemilihan serentak berlangsung dalam interval waktu yang Panjang dan beririsan antara pemilu dan pemilihan kepala daerah. Dalam konteks ini, faktor sumberdaya manusia sebagai salah satu komponen esensial sekaligus garda terdepan yang menopang tercapainya tujuan organisasi penyelenggaraan pemilu harus menjadi konsern untuk dipersiapkan, karena begitu kompleksnya tantangan pelaksanaan pemilu serentak 2024. Sebagai provinsi dengan gugusan pulau-pulau, Nusa Tenggara Timur memiliki tantangan tersendiri dalam mendesain sumberdaya manusia untuk penyelengaraan pemilu serentak 2024.

Komplikasi persoalan sumberdaya manusia itu setidaknya teridentifikasi beberapa hal : pertama, factor geografis, termasuk musim puncak pungut hitung berada di bulan Pebruari yang biasanya musim hujan dan angin . Kedua, distribusi dan sebaran sumberdaya manusia yang memiliki kualifikasi pendidikan tertentu tidak merata antara satu daerah dengan daerah lain. Ketiga, adanya perebutan sumberdaya manusia antara stakeholder pemilu. Keempat, pengawasan ditengah badai Covid 19. Makhluk ‘halus’ berukuran mikron itu menargetkan panen kematian juga menjadi persoalan tersendiri bagi penyelenggara pemilu yang hingga kini belum juga usai. Karena hampir seluruh tahapan pemilu ritusnya melibatkan banyak orang di ruang publik dan rentan terhadap kontak fisik.

Bagi Bawaslu, iven pemilu atau pemilihan menyedot sumberdaya manusia yang tidak sedikit selain anggaran. kesiapan sumberdaya manusia itu penting dari jauh-jauh hari, untuk menguatkan jaringan struktur anatomi organisasinya sampei ke level pengawas TPS, KPU juga demikian halnya bahkan dua kali lipat dari kebutuhan Bawaslu untuk membantu tugas-tugas teknis penyelenggaraan seluruh tahapan di level kecamatan sampai TPS, termasuk Pantarlih.

Partai politik juga merekrut sebanyaknnya saksi di seluruh tingkatan, tim kampanye, relawan, tim sukses atau apapun namanya di setiap titik. Pemantau pemilu serta organisasi lembaga survei, Linmas. Singkatnya semua stakeholders pemilu membutuhkan alokasi sumberdaya yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara itu untuk menghadirkan pengawas pemilu selain harus memiliki kualifikasi Pendidikan yang telah dipersyaratkan baku sesuai norma, juga setidaknya memiliki pengalaman atau rekam jejak sebagai penyelenggara pemilu, entah di level mana saja. Satu hal yang pasti syarat inparsialitas (non partisan) calon adalah kemutlakan untuk menjamin kontestasi politik pemilu berlangsung secara berintegritas, adil dan berkepastian hukum.

Bawaslu NTT memiliki pengalaman dalam proses rekruitmen sumberdaya manusia pengawas pemilu adhock yang jumlahnya mencapai ribuan orang itu pada penyelenggaraan pemilu 2019 lalu. Sebaran penyelenggara pemilu di 22 kabupaten/Kota 309 kecamatan dan 3353 desa/kel serta 14.978 Tempat Pemungutan Suara dengan total pemilih 3.391.616 orang terdiri dari laki-laki 1.668.211 dan perempuan 1.723.405 pemilih bukan hal yang mudah. Problem umum adalah kualifikasi pedidikan dan umur untuk level pengawas kelurahan/desa dan pengawas TPS. Selama masa pendaftaran ada yang tidak ada pendaftarnya, lalu diperpanjang pengumumannya.

 Persoalan klasik yang sering dihadapi dalam rekruitmen adalah keterbatasan sumberdaya manusia yang berkualifikasi, baik umur maupun ijazah. Ini berbeda dengan kebutuhan sumberdaya manusia stakeholder pemilu lain seperti partai politik. Penyelenggara pemilu memiliki standar baku dalam syarat calon yang sudah ditetapkan dalam undang-undang. Karena alokasi kebutuhan sumberdaya manusia yang begitu besar untuk mencarinya tidak mudah, ibarat menjari jarum dalam sekam, karena tidak semua desa/kelurahan memiliki stok sumberdaya manusia yang memiliki kualifikasi dimaksud. Karena itu hendaknya sejak dini perlu pemetaan di setiap kabupaten/kota soal ‘kelangkaan; manusia berkualifikasi ini.

Untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya pengawas dilevel ini.Bawaslu kemudian mencari alternatif dengan beberapa opsi penyelesaiannya yakni, mempeluas syarat domisili wilayah administratif calon yang tidak hanya terbatas dari dalam wilayah administratif desa/kelurahan setempat, namun desa/kelurahan terdekat sepanjang masih dalam satu wilayah administrasi kecamatan yang sama dan mendapat persetujuan calon. Jika opsi ini juga tidak terpenuhi, maka pengawasan akan di take over oleh staf dan komisioner dilevel kecamatan. Demikian juga syarat formil dan materil pendaftaran calon, dipermudah tanpa menghilangkan substansi sesuai norma Undang-undang yang ada.

 Lantas seperti apa profil pengawas pemilu kedepan, mengingat kompleksnya tantangan yang dihadapi. Dari aspek ketersediaan sumberdaya manusia yang pasti dibutuhkan pengawas pemilu yang berkarakter, berintegritas dan memiliki kapasitas yang memadai, profesional sesuai asas penyelenggara pemilu. Seperti kita ketahui, interval waktu pelaksanaan tahapan pemilu serentak 2024 berlangsung dalam ruang waktu yang Panjang. Jika tahapan sudah dimulai bulan Januari tahun 2022, maka tahapan pemilu serentak berlangsung selama 26 bulan. Tahapan yang Panjang menjadi tantangan tersediri bagi jajaran penyelenggara pemilu adhock, selain dibutuhkan kesiapan skill pengawasan, juga pengendalian internal yang harus lebih kuat untuk memastikan integritas jajaran adhock tetap terjaga dan tidak ‘tergadai’.

Satu hal yang juga tak kalah pentingnya adalah syarat kesehatan yang tidak hanya formal administratif, namun harus ada pemeriksaan medis scara faktual yang terukur untuk memastikan kondisi Kesehatan jajaran penyelenggara adhock. Kita belajar dari gugurnya ratusan penyelenggara pemilu di tahun 2019. Apalagi seluruh tahapan pemilu masih dalam suasana bencana non alam Covid 19. Dan untuk memastikan pengawasan pemilu yang berkualitas, maka selain integritas penyelenggara pemilu (pengawas,red) yang dituntut public, juga hak-hak yang melekat dalam tugas dan kewajiban jajaran pengawas adhock juga mesti seimbang. Dalam praktiknya selama ini, penghargaan terhadap kinerja jajaran penyelenggara pemilu di level adhock masih sangat rendah, jika dibandingkan dengan tugas, beban dan tanggungjawab yang diemban. Apalagi tantangan wilayah geografis NTT yang luas dan berpulau menjadi persoalan tersendiri bagi penyelenggara pemilu adhock dalam melakukan tugas-tugas pengawasan.

Berdasarkan skenario yang di desain KPU, hari pemungutan suara untuk pemilu serentak 2024 Rabu 24 Pebruari 2024. Sedangkan hari pemungutan suara pemilihan Rabu 27 November 2024. Puncak tahapan pemungutan suara pemilu secara specific bagi masyarakat NTT masih dalam cuaca musim hujan yang juga menjadi problematika sendiri. Dalam desain program tahapan dan jadwal, tahapan pemilu serentak 2024 dan penjelasan Komisi II DPR, tahapan akan dimulai Januari 2022, artinya kesiapan sumberdaya manusia pengawasan pemilu terutama organ adhok sudah mesti di ancang-ancang dari sekarang. Pemetaan kebutuhan, profil penyelenggara (pengawas pemilu) adhock serta berbagai persoalan ikutan yang selama ini mewarnai proses rekruitmen sudah mesti disiapkan jalan keluarnya.

Sementara itu dilevel provinsi fase pertama transisi komisioner pun terjadi di tahun 2022. Tiga komisioner purna tugas 20 September 2022 di saat tahapan pemilu serentak sedang bergulir. Kondisi ini tentu berimplikasi terhadap kinerja jajaran pengawas pemilu di level provinsi, terutama para ‘petahana’ yang hendak bertarung lagi untuk periode kedua, ikut mempersiapkan diri. disaat yang sama sedang mengawasi tahapan pemilu serentak. Termasuk di level sekretariat bawaslu Provinsi. Ada sejumlah sumberdaya yang harus diperbantukan di markas Tim seleksi. Pada saat yang sama sekretariat bawaslu Provinsi masih kekurangan sumberdaya manusia. Transisi kepemimpinan komisioner kolektif ‘kloter pertama’ ditengah tahapan pemilu yang sedang bergulir setidaknya berdampak terhadap dinamika kelembagaan, kualitas dan hasil pengawasan. Lebih dari itu dibutuhkan biaya yang besar untuk proses seleksi calon anggota bawaslu Provinsi saat tahapan sedang bergulir dan kondisi keuangan negara sedang terkuras akibat wabah pandemic covid 19 yang menyedot anggaran negara di kementerian dan Lembaga triliunan rupiah.

Secara historis dapat dijelaskan bahwa, kepemimpinan Komisoner di Bawaslu Provisi se Indonesia ini berlangsung dalam dua fase, karena pembentukan bawaslu Provinsi periode 2018-2022 masih merujuk kepada Undang-Undang nomor 15 tahun 2011, terutama berkaitan dengan pasal Jumlah anggota bawaslu di tingkat Provinsi masih tiga orang. Dalam proses bersamaan itu kemudian pembentuk Undang-undang melakukan perubahan dan pengesahan Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang menetapkan komposisi jumlah anggota bawaslu di tingkat Provinsi menjadi lima dan tujuh orang, sedangkan dilevel Kabupaten/Kota yang sebelumnya adhock menjadi Lembaga permanen dengan masa jabatan 5 tahun.

 Seiring dengan berjalannya waktu, bawaslu kemudian melakukan penyesuaian jumlah keanggotaan bawaslu di tingkat provinsi sesuai UU No 7 tahun 2017, dan berproses melalui tim seleksi, akhirnya Provinsi dengan jumlah anggota lima orang memperoleh tambahan dua anggota dan provinsi dengan jumlah komisionernya tujuh orang mendapat tambahan empat komisioner dan dilantik pada 23 Juli 2018 dengan periodesasi 2018-2023.

Dengan demikian terjadi variasi akhir masa jabatan di bawaslu Provinsi. Kondisi ini bisa dihindari manakala Pembentuk Undang-Undang mau merevisi UU nomor 7 tahun 2017 dengan skenario, penyesuaian masa jabatan anggota bawaslu Provinsi, apakah diperpendek masa jabatan untuk anggota tambahan sebagai konsekwensi dari penyesuaian UU No 7 tahun 2017 atau memperpanjang masa jabatan komisioner yang dibentuk dengan UU No 15 tahun 2011. Namun kondisi ini tidak terjadi, rencana revisi UU kandas oleh pembentuk UU.Perdebatan soal revisi undang-undang pemilu pun sirna seiring sikap DPR dan pemerintah yang menolak revisi UU pemilu Nomor 7 tahun 2017. Realitas ini jika tidak diwadahi secara baik bisa menimbulkan trubulensi kelembagaan jika dalam proses seleksi timbul berbagai persoalan.sehingga proses akhir masa jabatan komisioner bawaslu Provinsi akan berlangsung dalam dua gelombang. Diperlukan pertimbangan yang matang para pembentuk undang-undang.

Namun apapun tantangannya, pemilu serentak tetap di gelar 2024, dan Indonesia telah berpengalaman dalam menggelar pemilu dan pemilihan. Lompatan yang luar biasa dalam proses konsolidasi demokrasi di negeri ini telah terlewati. Bahwa proses konsolidasi demokrasi masih dinilai banyak pihak masih prosedural disatu sisi, dan belum menyentuh aspek substantif di sisi yang lain. Namun tak perlu pesimis. Karena itu membangun narasi pesimis adalah kemunduran. Yang mesti dilakukan adalah membangun harapan dengan narasi positif agar proses konsolidasi demokrasi ini berlangsung secara demokratis, berintegritas, damai serta memproduksi para pemimpin yang berwajah melayani untuk kesejahteraan rakyat. Karena salah satu hakekat demokrasi adalah tercapainya keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam bingkai payung teduh NKRI. Teriring Salam Awas !

Penulis : Baharudin Hamzah